I Lost My Body(2019) - Romantisasi Hal Disturbing Menjadi Cerita Yang Melankolis

I LOST MY BODY(2019)

Animation | Drama | Fantasy

Director : Jeremy Clapin

Writer :  Guillaume Laurant & Jeremy Clapin

Release Date : 15 November 2019

IMDB : 7.6 | Metacritic : 81 | Rottentomatoes : 96%


    I Lost My Body memang sudah menjadi watchlist saya sejak awal 2020 apalagi setelah tahu jika animasi arahan Jeremy Clapin ini masuk jajaran nominasi Oscar. Namun pada saat itu niat saya untuk menonton film ini tertutup oleh banyaknya tugas dan saya lebih membutuhkan tontonan yang ringan menghibur ketimbang tontonan yang berat menginspirasi.

    Film ini bercerita soal perjalanan sepotong tangan yang mencari kembali si pemiliknya, iya, film ini menceritakan soal sepotong tangan. Namun juga diselipi oleh kisah perjalanan dari sang pemiliknya yaitu Naoufel(Hakim Faris) dalam mencari gunanya ia untuk kehidupannya. Naoufel kecil kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan lalu ia diasuh oleh pamannya yang tidak mengerti tentang keadannya. Naoufel besar akhirnya bekerja sebagai pengantar pizza dan dia selalu ditegur oleh bosnya atas pekerjaannya yang selalu berantakan. Sampai suatu ketika saat Naoufel sedang mengantar pizza ke sebuah apartemen, ia menemukan Gabrielle(Victoire Du Bois) melalui kotak suara dan percakapan antara mereka berdua hari itu membawa Naoufel ke kehidupannya yang baru.

    Saya sangat mengerti mengapa Jeremy Clapin memilih animasi sebagai medium dalam menyampaikan penceritaan seperti ini. Ia ingin memberikan gaya penceritaan dengan berbagai penggunaan metafora dan bahasa visual yang jika diaplikasikan ke dalam bentuk film feature maka akan sulit secara teknisnya juga sedikit mengangkat angka pengeluaran. I Lost My Body memang tidak menjual animasi yang keren seperti film-film Disney maupun Pixar karena visi sebenarnya dari film ini adalah ingin memberikan sesuatu yang berarti untuk mindset penontonnya melalui penuturan yang bisa dibilang rada absurd.

    Jeremy Clapin seakan juga paham betul bagaimana memainkan emosi penonton melalui bahasa visual dan juga color tone, ia menampilkan warna putih hitam untuk adegan flashback dan warna-warna terang untuk menandakan kehidupan sekarang.

    Naskah yang dibangun oleh Guillaume Laurant juga patut diacungi jempol, karena ia berhasil membuat jalan cerita yang terlihat seakan sangat kompleks padahal sebenarnya hal tersebut sangatlah sederhana dan dekat dengan kehidupan kita. Secara tidak langsung kita seperti diajarkan jika masalah yang sedang kita hadapi sekarang terlihat sangat kompleks dan menyusahkan padahal semua itu sangat sederhana jika kita bersedia mengikuti alurnya dan mencari solusi atas permasalahannya sesuai skenario.

    Ada banyak sekali makna-makna tersirat yang disampaikan Clapin dalam film ini yang hanya bisa dinotice oleh beberapa orang yang juga merasakan hal yang sama. Jadi film ini memberikan pesan yang tidak straight to the point, melainkan seperti menyebarkan pelet kedalam kolam ikan lalu membiarkan kita para ikan memakan pelet-pelet tersebut.

    Directing yang kuat memang sangatlah terbantu oleh cerita yang solid namun jangan lupakan juga peran animasi disini. Meskipun bukan yang tergolong epic namun bagaimana film ini mampu memaksimalkan kesederhanaannya untuk menyampaikan emosi juga sangat brilian dan efektif. Kapan lagi kalian bisa berempati dengan sepotong tangan yang tanpa suara dan ekspresi, sebuah hal yang awalnya agak horror berubah menjadi melodramatic ketika kita tahu maksud tujuan film ini menampilkan sepotong tangan tersebut.


RATE PRIBADI 9.5/10

Comments